Enaknya Jadi Kekasih Gelap Asisten Pribadiku
Enaknya Jadi Kekasih Gelap Asisten Pribadiku |
Namanya mbak Ratih. Ibu dari dua anak, yang paling besar duduk di kelas 5 SD sedangkan yang kecil masih kelas 2 SD. Suaminya bekerja sebagai pegawai honorer di sebuah instansi pemerintah sekaligus menjadi penjaga losmen pada malam harinya. Mbak Ratih berusia 33 tahun, wanita yang dibesarkan dari keluarga menengah dan religius.
Terlihat dari jilbab yang selalu dikenakannya dan juga tutur katanya yang santun. Selain berparas ayu, baju lengan panjang dan celana kain yang biasa ia kenakan seakan mencetak lekukan tubuh langsingnya, apalagi saat mengenakan celana warna cerah membuat garis CDnya tampak erat mencengkeram bongkahan pantatnya yang kecil namun padat dan kencang itu. Sering mbak Ratih kujadikan fantasi sexku saat aku melakukan onani.
Dilihat dari kacamata batinku, sosok mbak Ratih sungguh mirip dengan artis ‘Sarah Vi’ artis era 90-an yang namanya meroket sejak membintangi sinetron “Inem Pelayan Sexy” meski menurutku mbak Ratih lebih tirus atau langsing. “Aaahhh…Andai mbak Win belum bersuami…”. Bahkan ibuku pun tampak menyayangi mbak Ratih. Keduanya memang sudah saling mengenal saat ibu masih sesekali membantu usaha warung makan yang dulu kurintis hingga kini sudah merambah katering, persewaan tenda dan sound system, pangkalan gas LPG dan masih dalam proses menjadi agen resmi minuman kemasan ternama.
Semua kejadian terjadi tanpa sengaja. Aku yang sedang sibuk sibuknya merampungkan kuliahku sedangkan ibuku yang janda dan sudah pensiun mengajar diminta untuk tinggal di luar kota bersama kakak perempuanku dan suaminya. Selain dekat dengan anak, menantu dan cucunya, memang itu lebih baik untuk Ibu daripada hanya hidup berdua denganku yang lebih sering sendiri di rumah karena kutinggal dengan segala kesibukanku.
Otomatis warung makan pun terbengkalai dan kuputuskan tutup sampai dengan waktu yang belum kutentukan. Dilain sisi mbak Ratih masih berusaha mempertahankan penghidupannya, ia mengusulkan untuk menambah karyawan dan ia juga bersedia untuk mengelola dengan tanggung jawab penuh. Mendengar usul dari mbak Ratih aku hanya terdiam, tidak serta merta mengabulkannya hingga raut wajah mbak Ratih yang bisanya berseri berubah murung saat kuungkapkan niatku.
Kulihat seharian mbak Ratih lebih banyak diam dan termenung di dapur sambil membersihkan peralatan masak sebagai tugas terahkirnya. Sungguh tak tega aku melihatnya. Perlahan kututup pintu depan warung, kuhampiri mbak Ratih dan kusodrkan uang sejumlah dua juta rupiah padanya, mbak Ratih tertegun kemudian menatapku. Matanya mulai berkaca-kaca dan air mata mulai menetes dari sudut matanya yang indah.
“Mbak Ratih, ini tolong diterima ya” ucapku sambil menyodorkan uang.
“Apa ini mas?” tanyanya diiringi isak tangis.
Ruang dapur yang biasanya dihiasi tawa, kini berubah drastis, apalagi suasana haru saat itu justru menambah kedekatan hati kami.
“Ini gaji terakhir mbak Ratih ditambah sedikit sebagai ucapan terima kasih saya pada mbak Ratih…” ucapku.
“Ta…tapi mas…” jawabnya terbatu bata.
Aku tak menjawab namun kuberanikan diri untuh meraih pergelangan tangan kanannya dan menyerahkan uang itu. Mbak Ratih beranjak dari duduknya kemudian berlutut dihadapanku, ia memeluk kedua kakiku dengan erat.
“Mas, ijinkan saya tetap bekerja dengan mas Adam, saya berjanji akan bekerja dengan sungguh sungguh mas…” kata mbak Ratih memohon.
Mbak Ratih merupalan tulang punggung keluarganya. Gaji suaminya dari instansi ditambah upah sebagai penjaga losmen pun tak seberapa jika dibandingkan dengan gaji mbak Ratih disini. Terlebih kebutuhan anaknya yang semakin beragam, belum lagi dengan usia mbak Ratih tentu akan sulit dalam mencari pekerjaan baru.
Aku memasukan kembali uanga itu ke dalam saku celanaku, kemudian kuraih kedua lengannya, kuangkat tubuh mbak Ratih sehingga kami sama-sama berdiri.
“Sebetulnya Adam juga sayang sama mbak Ratih ga mau mbak Ratih pergi…mbak Ratih sudah kuanggap seperti kakakku sendiri…makasih ya mbak …” ucapku.
Mbak Ratih hanya tertunduk dan terdiam.
“Kog diam mbak, kata kata Adam ada yang salah ya?” tanyaku.
Mbak Ratih masih saja terdiam saat itu. Hingga tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya.
“Terus kenapa mbak Ratih terdiam dan masih sedih?” tanyaku lagi. Suasana yang melow mulai membuatku melontarkan kata-kata yang bodoh kala itu.
“Kalo mas Adam sayang sama saya kenapa saya disuruh pergi dari sini?” tanyanya balik. Pertanyaan skak mat dari mbak Ratih membuatku meringis menyadari kebodohanku.
Sudah kepalang basah, entah baik atau jelek ahkirnya kuberanikan diri untuk bertanya pada mbak Ratih.
“Apakah mbak Ratih juga sayang sama Adam?” tanyaku lagi. Mbak Ratih tak menjawabnya, ia mengangkat kepalanya sebentar menatapku kemudian tertunduk kembali.
“Kog ga dijawab mbak?” tanyaku. Semula rasa haru yang memenuhi suasana itu perlahan berubah menjadi nafsu dengan keadaan itu.
“Percuma juga kalo dijawab mas, toh bagaimanapun mbak juga harus pergi, walopun mbak senang dan betah kerja disini sama mas Adam, mas Adam baik dan ga pernah marah …” terangnya.
“Kalo aku masih mau mbak Ratih tetep disini…?” ucapku. Kupasang senyumku sambil menunggu jawaban dari mbak Ratih.
“Yang bener mas?” tanyanya seolah tak percaya. Ia mengangkat kepalanya seiring pancaran ayu wajahnya kembali tergambar. Sambil tak sadar ia memegangi kedua pergelanganku. Perlahan kulepaskan gengaman tangannya dan mengambil posisi memeluknya. Mbak Ratih tak memberikan respon, malahan posisinya sedikit ditarik ke belakang.
“ya sudah, kalo gitu memang lebih baik usaha ini ditutup saja” kataku kecewa. Aku memalingkan tubuhku seketika, mbak Ratih berusaha meraih lenganku.
“Maaf mas Adam, bukan maksduku membuat mas Adam kecewa, tapi mbak kan sudah bersuami dan mas Adam tau akan hal itu…” katanya.
“Iya Adam tau kog mbak, tapi Adam benar benar sayang sama mbak Ratih dan ga peduli dengan suamimu mbak” ucapku.
“Sekarang terserah mbak Ratih, mbak boleh pulang sekarang juga dan besuk ga perlu datang lagi kesini atau…?” kataku memberi pilihan pada mbak Ratih.
“Atau apa mas?’ tanyanya penasaran. Ia langsung menyaut kata-kataku sambil tangannya masih saja memegang lenganku.
Aku membalikan badan dan kami kembali saling berhadapan.
“Atau mbak mau menerima cintaku dan tetap disini …?” jawabku.
Tanpa menunggu jawaban darinya, kudekatkan wajahku dan melayangkan ciumanku ke wajahnya. Mbak Ratih masih berusaha menghindar meski tak ada kata penolakan darinya. Ciuman yang kutujukan ke bibirnya meleset mengenai pelipisnya. Aroma hijab yang khas saat itu semakin menambah gejolak nafsu birahiku padanya. Kuangkat wajahnya dan kulayangkan ciumanku ke bibirnya, meski memang tak ada penolakan namun kulihat matanya terpejam erat dan bibirnya dikunci rapat hampir saja membuat emosiku terbakar.
Aku tak boleh gegabah, aku mencoba untuk mengendalikan emosiku dengan menarik nafas, kucium keningnya, pipinya, sambil kuusap perlahan punggungnya …
“Maafkan Adam ya mbak…” bisikku.
Kujilati pipinya, pelipisnya, dagunya hingga tepian bibirnya yang mungil sampai akhirnya bibir mbak Ratih perlahan terbuka meski matanya masih tertutup. Kuhisap perlahan bibir atasnya, berganti bibir bawahnya dan mbak Ratih pun mulai membalas dengan pagutannya .
Kira-kira hampir setengah jam kami saling berpagutan, sambil kuremas-remas bongkahan pantatnya yang kecil namun kencang itu. Terlebih celana kain tipis yang dikenakannya justru memberikan sensasi kepada kami berdua hingga tak sadar tangan mbak Ratih sudah menelusup masuk ke dalam celana pendekku, mencoba meraih batang kontolku yang sudah tegang saat itu. Mbak Ratih sudah terlena dengan permainan kami. Dengan cekatan jemari mbak Ratih berhasil melepas kancing celana pendekku, menurunkan restlitingnya hingga batang kontolku menjulang tegak dalam gengamannya.
Perlahan mbak Ratih membelai kontolku sesekali mengocoknya perlahan. Aku pun tak tinggal diam, kubuka satu persatu kancing bajunya sehingga terlihat payudaranya yang masih tertutup bra ukuran 34A itu. Kutarik mbak RAtih ke ruang belakang, tempatku biasa tidur siang dan juga tempatnya beribadah.
Wajah mbak Ratih tampak tersipu saat di dalam ruangan itu kulucuti semua pakaiannya hingga kami berdua sudah sama-sama telanjang. Kurebahkan badannya diatas kasur busa yang biasa aku gunakan untuk tidur. Kutindih badannya dan kembali kujilati seluruh tubuhnya. Tak terkecuali puting susunya yang sudah sangat mengeras menghiasi kedua payudaranya.
“Ssstthhh…aaahhh…” desahnya menahan rasa nikmat yang aku berikan lewat jilatanku hingga kemudian ia mendorong tubuhku dan berbalik menindihku.
Serangan balasan dilakukannya mulai dari leherku, bahkan kedua putingku pun tak luput dari isapan dan jilatan bibir mungilnya. Lidahnya lincah menari mengitari kedua bola kembarku. Menjilati batang kontolku dan kemudian memasukan ke dalam mulutnya. Batang kontolku dikocok dengan menggunakan mulutnya. Itu dilakukannya selama 10 menit. Aku hnya bisa mendesah menahan nikmat permainan mulut mbak Ratih di batang kontolku.
Enaknya Jadi Kekasih Gelap Asisten Pribadiku
Enaknya Jadi Kekasih Gelap Asisten Pribadiku |
Asikqq - “Sssthh…aarrgghh…enak sekali mbak…” desahku.
“Ooohhh mbak aku mau keluaaarr mbaaakkk….aaahhh…” rancauku.
Kontolku pun berkedut di dalam mulutnya. Seketika cairan kental spremaku menyembur di dalam rongga mulutnya yang hangat. Mbak Ratih tak bergeming dan terus saja menghisap sampai peju yang dimulutnya pun berceceran. Tak berapa lama batang kontolku pun mulai tenang meski tetap dalam kondisi keras. Mbak Ratih pun mengurangi tempo hisapannya dan kemudian melepas kontolku dari mulutnya. Ia tersenyum nakal ke arahku dan kemudian dengan telaten membersihkan sisa peju yang tercecer diperutku dengan lidahnya.
Mbak ratih kembali menggodaku. Memainkan kontolku dan kemudian menegakkan tubuhnya sambil menggulung rambutnya dengan kedua tangan. Entah itu dilakukan karena merasa risih dengan rambutnya yang tergerai sebahu atau memang sengaja ingin menggodaku.
“Wooww seksi sekali kamu mbak…” teriakan hatiku yang memicu kontolku kembali berkedut seolah masih bergejolak mencari kenikmatan.
Aku tak kuasa menahan nafsuku yang mulai bangkit kembali. Kutarik tubuhnya hingga sekarang posisinya seolah duduk bersimpuh diatas perutku. Kuremas perlahan pantatnya, kumainkan telunjukku di lubang anusnya sampai tubuhnya menggeliat. Kemudian dia meraih kontolku dan memasukannya perlahan ke liang kewanitaannya yang ditumbuhi bulu lebat.
“Sleeeppp…” seiring kontolku menelusup perlahan di liang kewanitaan.
kedua paha kecilnya seakan sangat kuat mengangkat tubuhnya dalam posisi bersimpuh. Tak selang berapa lama, ia merubah posisi menjadi berjongkok. lubang memeknya tampak mengkilat dan menganga, sesaat kemudian ia membimbing batang kontolku untuk kembali menelusup di dalam lubang memeknya. Kedua telapak tangannya bersandar pada perutku seiring gerakan “upside down” yang dilakukannya.
Mungkin karena posisi itu cukup menguras energi, ia pun berebahkan dirinya di atas tubuhku. Batang kontolku semakin menyusup ke dalam seiring dengan gerakan pinggulnya yang semakin cepat hingga tubuh kami pun sama-sama kaku saat lahar panasku menyembur. Kulihat kedua bola matanya naik keatas seolah merasakan sesuatu yang amat dahsyat.
Rasa lelah bercampur nikmat membuat kami berdua masih terhanyut hingga kami masih saling berpelukan dan tertidur.
“Mas Adam…bangun mas…” katanya membangunkanku.
Aku mencoba membuka mata meski tubuhku masih terasa capek dan lemas.
“Ayo bangun mas … Sudah sore …” katanya lagi.
“Ha…” jawabku setengah kaget. Mbak Ratih tersenyum padaku. Kulihat di alroji swiss armyku menunjukkan pukul setengah 5 sore. Jam biasanya mbak Ratih memang bersiap pulang menunggu jemputan.
“Kopinya dimeja ya mas … Oya besok apakah saya masih boleh datang mas?” tanyanya.
“Iya makasih mbak… tentu boleh donk mbak…tapi sebentar mbak…” kataku. Aku mengambil dua lembar uang seratus ribuan dan kuberikan pada mbak Ratih.
“Uang apa ini mas?” tanya mbak Ratih heran.
“Buat beli oleh-oleh anak-anak mbak Ratih” jawabku.
“Beneran ini mas?” katanya senang.
“Iya mbak…”
“Makasih ya mas…”
“Tapi ini dulu donk…” kataku sambil kuletakkan jari telunjukku di bibirku dan mbak Ratih pun paham dengan kode yang kuberikan.
Kami berdua lantas berciuman sejenak sebelum kemudian ia berlalu keluar menemui suaminya yang sudah menunggunya di luar.
No comments: